Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Listrik dari Sampah Kota   Menanggapi tulisan yang berjudul Energi masa lalu, kini dan masa depan  kita selaku kota yang baru berdiri harus bercermin kepada kota yang  sudah menghadapi masalah dan mampu menyelesaikannya, khususnya terhadap  permasalahan ketersediaan energi yang sangat pokok dan penting tetapi  mampu memecahkan permasalahan lainnya.  Sampah telah menjadi masalah besar terutama di kota-kota besar di  Indonesia. Hingga tahun 2020 mendatang, volume sampah perkotaan di  Indonesia diperkirakan akan meningkat lima kali lipat.  Tahun 1995 saja, menurut data yang dikeluarkan Asisten Deputi Urusan  Limbah Domestik, Deputi V Menteri Lingkungan Hidup, Chaerudin Hasyim, di  Jakarta baru-baru ini, setiap penduduk Indonesia menghasilkan sampah  rata-rata 0,8 kilogram per kapita per hari, sedangkan pada tahun 2000  meningkat menjadi 1 kilogram per kapita per hari. Pada tahun 2020  mendatang diperkirakan mencapai 2,1 kilogram per kapita per hari.  Meningkatnya sampah perkotaan telah menimbulkan berbagai permasalahan  lingkungan. Bukan hanya pemandangan tak sedap atau bau busuk yang  ditimbulkannya tetapi juga ancaman terhadap kesehatan.  Untuk memanfaatkan sampah perkotaan sebenarnya telah sejak lama  diupayakan para ahli. Salah satunya adalah pemanfaatan untuk produksi  listrik biogas dari sampah kota. Namun sejauh ini, rencana tersebut baru  sebatas wacana.  Yang sudah beroperasi dan baru saja diresmikan adalah listrik dari sekam  padi di Desa Cipancuh, Kecamatan Haur Geulis Indramayu, memanfaatkan  sekam padi yang selama ini terbuang. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel  (PLTD) sekam pertama di Indonesia itu berkapasitas 100 ribu watt.  Setelah sekam padi, angin segar dihembuskan PLN Distribusi Jawa Barat  dan Banten yang berniat memanfaatkan sampah di TPA Leuwigajah Cimahi dan  TPA Bantargebang Bekasi, untuk menghasilkan listrik, dengan menggandeng  investor swasta PT Navigat Organik Energy Indonesia. Saat ini, rencana  pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTB) dari sampah kota itu  memang masih dalam tahap MoU.  Selain mengatasi masalah sampah kota, diharapkan pemanfaatan sampah  untuk listrik tersebut juga bisa membantu PLN dalam mengatasi krisis  enerji listrik. Paling tidak, listrik penduduk di seputar TPA tak akan  sering-sering byar pet.  Bila PLTB di TPA Leuwigajah tersebut beroperasi, pada mulanya akan  memberikan kontribusi pasokan listrik sebesar 1 MW (mega watt) terhadap  jaringan PLN di wilayah Distribusi Jawa Barat dan Banten, dengan  kapasitas maksimumnya 10 MW. Meski kontribusi listrik sebesar 1 MW  tergolong relatif kecil, namun jika disalurkan kepada pelanggan rumah  tangga daya tersambung 450 atau 900 VA (volt ampere) dengan pemakaian  rata-rata misalnya 100 kwh (kilo watt hour) perbulan, diperkirakan dapat  memasok kepada sekira 10 ribu pelanggan.  Menurut Direktur Utama PT Navigat Organic Energy Indonesia, Sri Andini,  selain ingin turut memberikan kontribusi enerji listrik, pembangunan  PLTB itu diharapkan pula mampu memberikan solusi terhadap permasalahan  sampah selama ini. Upaya tersebut sekaligus pula agar masyarakat  terbebas dari hal-hal yang membahayakan lingkungan, terutama akibat  limbah sampah yang dapat mengeluarkan gas-gas beracun.  "Melalui pengelolaan energi biogas dari sampah ini, gas metan yang  dihasilkan limbah sampah itu dapat diolah menjadi energi listrik,"  jelasnya usai menandatangani MoU (nota kesepahaman) "Rencana Jual Beli  Tenaga Listrik Pembangkit Listrik Tenaga Biogas dari Sampah TPA (tempat  pembuangan akhir) Leuwigajah-Cimahi" antara PT PLN (Persero) Distribusi  Jabar-Banten dan PT Navigat Organic Energy Indonesia.  Menurut Sri, saat ini pembangkit listrik tenaga biogas di TPA Leuwigajah  dan Bantar Gebang tersebut masih dalam perencanaan dan akan segera  dibangun. Pembangunan diperkirakan memakan waktu sekira enam bulan,  dengan kapasitas maksimum pembangkit sebesar 10 MW (mega watt) dan mulai  dapat beroperasi 9 bulan lagi. "Untuk tahap awal nanti, kapasitasnya  baru 1 MW. Selain di Leuwigajah, juga ada di Bantar Gebang Bekasi dengan  kapasitas maksimum pembangkit mencapai 35 MW.  Sebelum membangun PLTB, sambung Sri, pihaknya akan mengupayakan dulu  composing pada TPA tersebut, kendati kegiatan ini dinilai tidak akan  berkembang. Pasalnya, untuk melakukan itu harus melalui banyak prosedur  dan kemungkinan besar dapat mengganggu keberadaan pemulung. "PLTB  sendiri tidak akan mengganggu pemulung, sehingga mereka masih dapat  mencari keuntungan dari sampah-sampah yang ada," jelasnya.  Mengenai besarnya alokasi investasi yang dibutuhkan untuk membangun PLTB  tersebut, Sri mengakui dananya cukup besar. Meski begitu, ia belum  dapat menyebutkan nominalnya, karena harus melakukan survei di lapangan  dan perhitungan berbagai biaya yang timbul. Begitu pula keuntungan  ekonomis dari investasi bisnis PLTB ini, yang tidak dapat langsung  dirasakan perolehan laba terutama untuk jangka pendek, tapi akan mulai  dirasakan untuk jangka panjang.  Selain membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk membangun PLTB dari  sampah, yakni mulai dari pembangunan instalasi, pengeboran, maupun  infrastruktur lainnya, juga akan memakan waktu lama untuk mencapai  keuntungan ekonomis. BEP (break event point atau titik impasnya saja  baru dapat tercapai selama 9 sampai 10 tahun mendatang.  Sri mengakui, pembangkit listrik tenaga biogas tersebut merupakan yang  pertama di Indonesia. Kalau di negara-negara lain terutama di Eropa,  termasuk di Asia seperti Korea Selatan, Malaysia maupun Thailand sudah  berjalan. Di Inggris misalnya, pembangkit listrik tenaga biogas sampah  sudah berjalan selama 15 tahun dengan kapasitas mencapai 400 MW.  "Pembangunan PLTB ini tidak hanya di TPA Leuwigajah dan Bantargebang  saja, karena sebelumnya kita juga telah melakukan kerjasama dengan PLN  Sumatera Selatan. Bahkan di masa mendatang, kita akan melakukannya di  seluruh Indonesia," tambah Sri.  Namun menurut catatan "PR" pemanfaatan sampah untuk listrik sudah pernah  dibuat di TPA Pasir Impun yang terletak di Desa Karang Pamulang, sekira  6 Km dari arah timur Kota Bandung. Di TPA seluas 7 hektar itu, sekira  500-1.000 meter kubik sampah yang dibuang ke sana dimanfaatkan untuk  pembuatan listrik biogas. Pembuatan listrik biogas di sana menggunakan  parit-parit yang kemudian biogas hasil pembusukan sampah organik itu  disalurkan dari parit ke pompa vortex. Vortex kemudian mengalirkan gas  metana yang mudah terbakar ini ke sebuah mesin diesel yang menghasilkan  daya listrik sebesar 40.000 watt.  **  PLTB merupakan salah satu upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan,  terutama dalam menangani limbah sampah utamanya sampah organik.  Sekaligus menjadi salah satu alternatif memberikan pasokan energi  listrik yang dinilai cukup terbatas selama ini. Serta masih banyak  menggantungkan pada pembangkit listrik seperti PLTA (Pembangkit Listrik  Tenaga Air), dsb.  Mengenai besaran HPP (harga pokok produksi) yang akan ditetapkan  perusahaan, Sri menjelaskan pihaknya akan tetap mengikuti aturan dari  pemerintah untuk menetapkan besarnya HPP. "Jadi, apa yang ditetapkan  oleh pemerintah akan kita ikuti. Harga listrik yang akan dijual, kita  mengikuti harga PLN atau pemerintah," ujarnya.  Hal senada diungkapkan Agus Pranoto. Pada prinsipnya HPP tersebut akan  dibicarakan lagi lebih lanjut. Meski demikian, secara umum sebenarnya  telah ada kebijakan yang mengatur besarnya HPP, baik dari pemerintah  maupun PLN itu sendiri. Bagi PLN misalnya, HPP dapat mencapai tingkat  keekonomisannya sekira 7 sen dolar AS per kwh (kilo watt hours).  Melalui rencana pembangunan PLTB di TPA Leuwigajah dan Bantar Gebang  Bekasi tersebut, Agus mengharapkan pada akhir tahun 2003 ini PLTB  tersebut dapat memberikan kontribusi sebesar 1 MW. "Meski tidak  signifikan, tapi itu dapat memberikan dukungan moral yang luar biasa  untuk menghadapi krisis enerji. Jadi, makin cepat makin bagus," ucap  Agus.  Diakui, sejauh ini tengah digalakkan pembangunsan pembangkit listrik  dengan tenaga terbarukan. Sejauh ini, PLN sangat mengharapkan adanya  pembangunan pembangkit baru. Pasalnya, kebutuhan enerji listrik dari  tahun ke tahun terus berkembang. "Jadi, berapapun listrik yang dapat  disediakan PLTB, kita akan beli. Tentang harga, nanti akan kita  bicarakan. Yang pasti PLN ataupun pemerintah sudah memiliki patokan yang  jelas," tegasnya.  Selain dengan PLN Distribusi Jabar dan Banten, PT Navigat Organic Energy  Indonesia telah melakukan kerjasama dengan PT PLN Distribusi Jawa Timur  di bidang jual beli energi listrik berbahan baku sampah bertegangan 20  kV dan frekuensi 50 hertz, baru-baru ini. Menurut Manajer Humas PT PLN  Distribusi Jatim, Bambang Harmanto, kerjasama tersebut merupakan bagian  dari rangkaian negosiasi dengan sejumlah perusahaan swasta yang memiliki  pembangkit dan kelebihan daya, untuk memenuhi tingginya permintaan  energi listrik dari industri.  Selain PT Navigat, sebuah perusahaan swasta lain yakni PT Ginaris Mukti  Adiluhung (GMA) telah menawarkan pula teknologi mengubah sampah menjadi  energi listrik (waste to energy) ke Pemprov DKI, baru-baru ini. GMA  menawarkan Pemprov DKI agar membayar Rp 30 ribu untuk setiap ton sampah  yang mereka ubah menjadi listrik.  Meski demikian Eddy Mardanus dari GMA mengakui, biaya yang harus  dikeluarkan untuk mengubah sampah menjadi energi listrik memerlukan  biaya tiga kali lipat dibandingkan biaya pembangkit biasa. Dengan  begitu, dana yang dibayar Rp 30 ribu tersebut tergolong cukup wajar,  apalagi Pemprov DKI selama ini mengeluarkan biaya untuk tiap ton sampah.  Bedanya, biaya yang dikeluarkan kini tergolong lebih rendah.  Investor lain yang sudah menandatangani nota kesepahaman adalah  pembangkit listrik dari sampah yang berkapasitas 1.000 ton sampah  perhari di atas lahan seluas enam hektare di Marunda. Produksi sampah di  Jakarta tiap hari sekitar 5.000 ton dan jika tiga tempat pengolahan  sampah sudah berfungsi penuh, sampah yang diserap adalah 3.500 ton  sampah setiap hari. Sedangkan 1.500 ton lainnya diatasi oleh TPA dan  "incenerator" milik Pemprov DKI.  Memilah sampah  Upaya pengelolaan limbah sampah ini dapat berjalan optimal, bila pemda  maupun masyarakat itu sendiri memiliki kesadaran pula akan pentingnya  kebersihan dan kelestarian lingkungan.  Di Batam misalnya, pemda setempat terus berupaya mengajarkan  masyarakatnya untuk memilah sampah menurut jenis dan sifatnya, yakni  dengan menyebarkan sebanyak 100 tong sampah untuk kebutuhan tersebut di  sejumlah tempat-tempat umum di Batam.  Menurut Kepala Seksi Pemanfaatan dan Pemusnahan Sampah, Air Limbah dan  Tinja di Batam, pihaknya sangat mengharapkan masyarakat Batam terbiasa  untuk memilah sampah menurut jenis dan sifatnya. Apakah sampah basah,  kertas dan plastik.  Untuk mendukung hal itu, sebanyak 100 tong sampah yang masing-masing  terdiri dari tiga tong yaitu untuk sampah basah, sampah kertas dan  sampah plastik disebarkan di sejumlah tempat-tempat umum yang sering  dilalui masyarakat. Langkah ini tiada lain untuk membelajarkan  masyarakat Batam agar menjadi masyarakat yang pintar dalam hal  kebersihan. 
sumber: http://www.banjar-jabar.go.id/index.php?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=491 

